Wednesday, April 29, 2015

Belajar ke Negeri India

Suatu hari aku berhenti di stasiun Varanasi, kota di Utar Pradesh, India. Aku menaiki rickshaw , India, menuju kota tua bernama Chowk bazaar di wilayah Gaudalia. Varanasi adalah kota suci umat Hindu, dimana sungai Ganga membelah kota tertua di dunia, yang sudah berumur 3000 tahun lebih. Mark Twain , pengarang kondang Amerika pernah mengunjungi Varanasi pada 1896 dan menulis di buku hariannya, “Varanasi is older than legend and look twice as old as all of them put together”


ghat , teras panjang dengan anak tangga menuju bibir sungai. Orang-orang bebas melakukan aktivitas. Para turis mancanegara duduk-duduk di anak tangga menikmati jajanan chia, kopi susu khas India, atau menyusuri sungai Ganga dengan perahu. Sedangkan penduduk kotanya bermain cricket. Ketuaan sangat tercemin dari warna air yang kehijauan, jenis batu yang aku injak, angin yang membelaiku, dan aroma yang aku hirup.

Omongan Twain bukan isapan jempol. Itu aku buktikan sendiri. Ketika aku berdiri di gang-gang labirin Chowk bazaar, ketuaan kota tercermin dari gaya dan usia arsitektur setiap bangunannya. Itu makin terasa di sungai Ganga. Sepanjang sungai adalah

Sungai Ganga dimitoskan air mata Dewa Shiva, sehingga pemerintah kota melarang penduduknya membuang sampah dan akan menghukum para pengusaha yang mengencingi sungai ini dengan limbah pabriknya. Sungai Ganga dikeramatkan dan disucikan. Abu mayat orang India ditebar di sini. Aku betul-betul tengelam ke dasar legenda atau mitos, seperti yang pernah aku baca di buku-buku; Mahabarata, Ramayana, Sidharta, Pater Panchali, atau Mahatma Gandhi. Hal-hal yang berbau modernitas tidak tampak di sini. Para penduduk India dengan sangat khusu memegang teguh tradisi. Aku seperti terlempar ke kehidupan masa lampau; ratusan tahun lalu.

Betapa pemimpin kota ini memanjakan para warganya. Kota-kota tua tidak dihancurkan dan dijadikan magnet pariwisata. Semakin tua, semakin bernilai. Mulai dari arsitektur bangunan, pakaian, bahkan kesenian tradisional mereka. Semua menghargai legenda, mitos, dan tradisi. Postmodernisme seolah terabaikan. Identitas kedaerahan (etnic identity) tidak harus musnah ketika identitas nasional (nation identity) dikedepankan. Walaupun sesekali kisruh politik mereka berawal dari kesukuan dan agama, tapi pluralisme tergambar kuat. Justru nasionalisme India dibagun dari beragam budaya (multy culture) milik mereka sendiri. Itu dibuktikan dengan “Be India buy India”.

Mereka bangga dengan keindiaan mereka tanpa perlu menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kaum kolonial Inggris. Maka tidak heran jika Bollywood, yang mengakar pada tradisi kedaerahan, menerobos hegemony Hollywood. India kini sudah mengancam jadi kekuatan yang John Naisbit formulakan lewat three revolutions F: food, film, fun (fashion). Bahkan tanpa kita sadari, film-film India, menjadi medium politik dan kebudayaan mereka pada kita.

Garin Nugroho mengingatkan para pemimpin negeri kita, bahwa pertumbuhan masyarakat Eropa-Amerika pascakrisis PD II berbasis pada kemampuan mengembangkan 3 aspek kebudayaan (kesenian dalam arti luas), yang melandasi seluruh strategi politiknya. Pertama, membangun produk-produk kebudayaan bersifat umum, massal, ekonomis, dan cepat, khususnya industri budaya populer. Kedua, merawat dan mengelola kebudayaan klasik, yakni peninggalan dan pemikiran kesejarahan. Terakhir, membangun pemikiran dan penciptaan alternatif serta penemuan-penemuan baru, untuk mampu memberi nilai tambah, menembus stagnasi, dan memberi pertumbuhan selera, serta ruang publik bagi pluralisme.

Aku jadi ingat petuah sakti orang Baduy Dalam di Kanekes, Banten Selatan, bahwa kenapa mereka menolak menyekolahkan anak-anak mereka? Ternyata mereka khawatir, jika anak-anak mereka sekolah, mereka jadi pintar dan kepintaran mereka bukan dipergunakan untuk hal-hal kebaikan, tapi justru untuk membodohi orang lain. (GG)

2 comments:

  1. India itu negara negara yang begitu komplek berbalut budaya dan tradisi dan kental.

    ReplyDelete