Sunday, October 4, 2015

Passport, Traveling, dan Menulis

Saya pernah membaca tulisan  "Passport" karya Rhenald Kasali. Di tulisan itu RK menyarankan, agar anak muda Indonesia memiliki passport dan berkelana ke mancanegara. Itu memang gue bingits. Makanya hingga hari ini saya masih suka traveling, walaupun sifatnya mendorong. Saya sudah memiliki passport pada 1987, ketika teman-teman se-SMA dan se-kuliah menganggap pergi ke luar negeri itu mewah dan harus anak menteri dan diplomat, bekerja di kedutaan, atau lewat jalur mahasiswa. Saya baru berhasil keluar dari tempurung bernama Indonesia ke Kuching lewat Entikong, Malaysia, 3 tahun kemudian. Saat di Kuching, saya semakin yakin, bahwa negeri Indonesia diurus oleh orang-orang tidak waras. Kemudian ke Jepang. Semakin yakin, bahwa Indonesia tercinta tertinggal segala-galanya. Padahal Jepang pernah dibom atom.



Salah besar jika orang hanya memikirkan perut saja. Borderless sekarang. Di Rumah Dunia, semua saya dorong agar traveling ke mana saja mampunya. Untung Boyke Pribadi dan Muhammad Arif Kirdiat ikut urunan mensubsidi para Relawan Rumah Dunia, sehingga pekerjaan saya jadi lebih mudah. Andai semua orang mampu mau mensubsidi orang lain yang miskin untuk traveling, pasti anak muda di kampung akan tergerak membangun, karena isi otaknya sudah ditambah. Kalau saya tidak begitu mengharuskan selalu traveling keluar negeri, tapi pergilah dari rumah lalu tuliskan. Cobalah yang dekat-dekat saja dulu, di kampung kita.

Dan lihat, Ade Jaya Suryani, Lanang Sejagat ; mereka 2 relawan Rumah Dunia dari kampung Cigeulis, Banten Selatan. Lalu Rahmat Heldy Hs dan Abdul Salam dari Waringin Kurung. Mereka kakak beradik, yang dengan ilmunya sudah berani  memiliki passport. Ketika menulis ini, saya sudah 10 hari di Taiwan dan anak saya Gekikara Gabriel sekolah di Abu Dhabi, serta Lanang Sejagad di Hyderabad, India. Bahkan Ade Jaya Februari 2016 nanti akan menempuh S3 di Leiden, Belanda. Pada 12-19 Oktober saya ke Jerman, dan 28-30 Oktober 2015 saya dengan #GongTraveling ke Singapore membawa 20 santri Nurul Ilmy Darunnajah 14 Padarincang, Serang. Dari trip ini saya bisa membawa 1 relawan Rumah Dunia, namanya Ardian Je, untuk melihat kemajuan Singapore. Sekarang relawan Rumah Dunia sedang demam bikin passport. Itu sesuatu yang menggembirakan.


Istri dan keempat anak saya, semua memiliki passport. Setelah beberapa kota di Indonesia dikunjungi, minimal Singapore, Malaysia, dan Thailand sudah pula mereka jelajahi. Istri saya malah sudah traveling di 7 negara Asia dan menulis buku "The Traveler's Wife".

Apakah saya orang kaya? Bukan. Tapi saya tidak jadi jatuh miskin karena senang bepergian.

Jadi, masih tidak mau memiliki passport dan menolak ke luar negeri? Anda sudah dibodohi oleh para politikus, agar jadi katak dalam tempurung. Untuk jadi nasionalis itu bukan sekadar diam mendekam membangun kampung, tapi bikin passport dan pergi dari rumah. Susuri nusantara dan jelajahi bumi. Maka nasionalisme akan tumbuh menggelora di dada Anda. Dan jangan kaget, jika kemudian Anda akan mengumpat : Damn! Karena kita tertinggal sangat jauuuuuuuuh sekalle.....

Jadi jangan heran kalau banyak para TKI yang setelah pulang ke indonesia, selalu ingin pergi lagi ke luar negeti dengan segala resiko. Ketika saya tanya kenapa? Jawab mereka, karena di desa mereka tidak tahu harus melakukan apa kecuali mendapat hinaan sebagai pembantu. "Kalau di luar megeri,walau dihina majikan, kita dapat uang jutaan..."

Dan semua itu karena "passport"...  (*)

No comments:

Post a Comment