Friday, January 8, 2016

(FILM) BALADA SI ROY



duka adalah luka
luka karena ujung pisau
tapi aku enggan mengobati
karena duka lain bakal datang
(Heri H Harris)

***

Saya kadangkala sering bingung dengan nasib novel serial saya - Balada Si Roy, yang saya tulis 28 tahun lalu. Sementara orang-orang dengan begitu mudah menulis.novel, lalu difilemkan, menulis lagi, lalu difilemkan lagi, terus begitu. Sementara penulis lain begitu menggebu (ingin) memfilemkan, saya justru biasa-biasa saja.

Saya melakukan riset pustaka dan lapangan untuk BSR sejak SMA (1980) hingga berhenti kuliah (1985). Bahkan traveling mengelilingi Indonesia (1985-87) dan Asia (1990 1992:. Saya mulai menulisnya tahun 1988 hingga saya menghentikannya tahun 1994. Ya, saya berhenti menulis BSR tahun 1994, padahal episodenya masih panjang. Kenapa? Itu karena banyak pembaca yang mengambil sisi negatif tokoh Roy. Juga karena banyak surat protes dari para ibu, agar saya berhenti menulis BSR. Anak mereka memilih bertualang seperti tokoh "Roy" daripada  ke sekolah.


Sejak 1990, beberapa produser meminta saya untuk.memfilemkan, menyaingi "Catatan Si Boy" dan "Lupus". Saya tolak. Tapi ketika saya mengiyakan pun, karena butuh dana untuk pengembangan Rumah Dunia, tayangnya justru di Malaysia. Kemudian karena faktor teman, gagal juga di pra-produksi. Bahkan tahun 2012, ketika pilihan siapa yang cocok jadi "Roy" dijatuhkan, lagi-lagi batal.

Suatu hari saya nonton "Into the Wild". Peristiwa Alexandre Supertramp, yang ditemukan tewas di "magic bus" di dinginnya Alaska, adalah saat.saya sedang traveling di Nepal. Saat itu para traveller sedang membicarakan rencana pembakaran identitas.mereka, dimulai dari passport hingga semua yang mereka bawa; foto keluarga, bahkan.dollar. Hal yang Alex Supertramp lakukan. Di bawah pengaruh hashis atau ganja, beberapa ada yang melakukannya di pinggiran danau Pokhara, Nepal. Saya memilih berpisah dengan mereka.


BSR sama persis dengan kegilaan Alex Supertramp. Tentang remaja anti mainstream, tidak senang berada di "comfort zone, pemberontakan, pencarian jati diri, dan cinta terlarang seorang petualang kepada perempuan terhormat.

Saya tidak tahu nasib BSR ke depannya. Gramedia masih mencetaknya, generasi baru pun mulai bermunculan membaca BSR. Tapi banyak produser yang sudah mengeluarkan dana kepadaku, melakukan pra produksi, tapi kemudian gigit jari. Saya memohon maaf atas peristiwa ini. Itu diluar kehendak dan kuasa saya.

Kemudian, bagaimana nasib BSR tahun 2016 ini? Jika ada pembaca yang ingin menontonnya di bioskop, berdoa saja. Tapi jika ada yang ingin membuat film di imajinasinya sendiri, tidak ada yang melarang.

Kita lihat saja nanti.

***

9/1/2016, RumahDunia

1 comment:

  1. Saya baru malam ini baca2 BSR, tapi sebelumnya maaf ya kang, saya dapatnya dari ebook gratisan.

    Awalnya tahu dari blognya Agustinus Wibowo yang katanya begitu mengidolakan dan terinspirasi oleh akang lewat cerita BSR, kemudian saya cari2 info siapa sebenarnya Gola Gong. Maklum saya termasuk anak kemarin sore, jadi nggak pernah tahu tentang akang dan karya-karyanya sebelumnya yang sempat booming era 90-an, mungkin saya waktu itu masih asyik baca komik Shincan atau majalah Bobo, hehe. Setelah nyari di Google akhirnya sedikit tahu tentang akang, dan nemu link download yang isinya kumpulan ebook BSR.

    Saya lompat-lompat bacanya, skip langsung ke Ransel Biru. Baru baca sedikit sampai waktu ranselnya ketemu, saya langsung tertarik, dan imajinasi liar saya langsung bertanya-tanya "Kenapa cerita sekeren ini ngga diangkat ke layar lebar?"

    Saya stop membaca, langsung nyari info lagi di internet, akhirnya nemu artikel ini dan di artikel di wordpress akang thn 2009 silam tentang 'kutukan' BSR.
    Padahal saya sangat berharap BSR dapat diangkat ke layar lebar. Sekedar info sebentar lagi karya-karya Mba Trinity (Naked Traveler) mau diangkat ke layar lebar dengan pemeran Maudy Ayunda. Saya sudah baca sepintas karya beliau, (bukan maksud mengecilkan) tapi menurut saya kisah Mba Trinity yang style-nya sedikit hedon itu belum pantas lah jika diangkat ke layar lebar, dari sisi cerita belum ada nilai plusnya selain mampu dan nekad berkeliling dunia. Saya lebih setuju jika kisah Agustinus Wibowo atau BSR ini yang diangkat ke layar lebar (Hanya opini pribadi, tanpa niat membanding2kan mana yang lebih baik, maaf jika Mba Trinity atau fansnya baca).

    Ayolah, semoga ada produser atau PH yang serius berniat mengangkat BSR ke layar lebar.

    Saya sendiri orang yang selalu bermimpi untuk bisa berpetualang, melakukan perjalan, bebas pergi kemanapun. Berkali2 saya menikmati dan terinspirasi oleh Christopher 'Alexander Supertramp' McCandless (Into The Wild), Walter Mitty (The Secret Life of Walter Mitty), Whitman Bersaudara (The Darjeeling Limited), Ernesto & Granado (The Motorcyle Diaries), Laura & Marsha (Laura & Marsha) dan film2 bertema traveling lainnya, atau blog2 seperti Agustinus Wibowo, Hiflatobrain, Journal Kinchan, A border that breaks, dll. Namun jika mengingat besarnya tanggung jawab yg ada di pundak saya saat ini, saya seringkali mengurungkan niat dan mimpi saya tersebut, daripada harus menuruti ego dan ambisi saya. Senang rasanya jika suatu saat nanti saya saya mampu berpetualang seperti akang dan kisah2 di atas.

    Oh ya kang, apakah buku serial BSR saat ini masih diterbitkan dan dijual di toko buku besar seperti Gramedia, dll? Saya mau mengoleksinya, jika memang sudah tidak beredar mungkin saya harus mencari yang seken di Pasar Senen / Asemka, daripada saya koleksi yang versi ebook bajakan, gratis lagi.

    Oh ya saat ini saya sedang menghidupkan kembali blog saya, mau mulai sedikit demi sedikit melakukan perjalanan lagi, dan kembali (belajar) menulis catatan perjalanan kembali, setelah lama vakum dari 2014, barangkali jika dibolehkan dan bila ada kesempatan, suatu saat nanti saya pengen berkunjung ke Rumah Dunia di Serang.

    Akhir kata, semangat terus kang! Saya optimis BSR akan diangkat ke layar lebar!

    ReplyDelete