Saya sedang kangen dengan putra keduaku; Gabriel Firmansyah (16), yang sekarang sekolah di Al Ain, Abu Dhabi, UEA. Rasa rindu yang menggejolak ini saya tuangkan saja ke dalam tulisan. Mengenang masa kecilnya bersama saya. Mengingat-ingat apa yang pernah saya lakukan bersamanya. Ternyata, saya sering sekali mengajaknya bertualang; kami jadikan lingkungan di sekeliling kami itu arena petualangan. Rumah kami berada di tengah kampung Ciloang. Masih ada sungai irigasi dan pesawahan. Kami sering nonton Man vs Wild di National Geographic..Kami ibaratkan irigasi itu sungai Amazon dan pesawahan itu padang savana.
Saya ingat saat Gabriel atau Abi masih usia 6 tahun dan Bella 7 tahun. “Ke jalan baru, Pah!” itulah kalimat yang sering saya
dengar dari mulut kedua anakku. Kosa kata “jalan baru”
memang sedang nge-top di kampungku, komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang - Banten. Jika
biasanya orang-orang ke kampungku selalu lewat utara dari jalan
protokol; Jendral Sudirman, atau pintu selatan dari kampung Cikubil,
kini ada jalan baru di sebelah barat; Jl. Bhayangkara. Jalan berukuran 2
meter ini melintasi persawahan dan menyusuri sungai irigasi, melewati
jembatan dari tiga batang kelapa dan persis berujung di Rumah Dunia.
Saat itu saya ingat betul, pagi-pagi, saat saya dilanda kesibukan menyelenggarakan “Gramedia Book
Fair” di Rumah Dunia, September 2005. Tapi saya masih menyempatkan diri mengajak Tias , dan ketiga anakku; Bella,, Abi, dan Odi (1,8 th)
ke jalan baru. Kami menyebut jalan baru, karena itu adalah jalan selebar
dua meter, yang membelah pematang sawah menuju jala raya. Memotong
setengah perjalanan jika melewati jalanan kampong yang selama ini biasa
dipakai. Hanya saja jalan baru itu masih berupa jalan tanah dan
jembatannya dari 3 batang pohon kelapa yang dibelah. Selain jalan kaki,
sepeda saja yang bisa lewat.
Cuaca pagi itu sangat cerah. Tanpa kami duga, mereka sangat antusias.
Jalan baru itu adalah perluasan dari pematang sawah. Masih tanah merah.
Ketika melihat sawah-sawah yang baru saja dibajak tergenang air, mereka
turun bermain lumpur. Odi malah menciprat-cipratkan air. Saya juga turun
ke sawah, mengajak Bella dan Abi saling melempar lumpur. Abi dan Bella tanpa sungkan berburu cacing.
Pagi itu aku
mengajarkan mereka bau lumpur, sungai yang kecoklatan, dan tentu tentang
petani yang selalu membungkuk menanam padi. Tias juga sangat gembira.
Sayang sekali, anak keempat kami, Azka, masih berumur 6 bulan dan sedang
tidur nyenyak di rumah. Peristiwa iitu betul-betul karunia terindah bagi kami. Bagi orang lain
bermain lumpur seolah-olah pekerjaan yang sia-sia, membuang-buang waktu.
Tapi kami sedang mengajarkan anak-anak tentang alam yang terhampar
indah.
Saya teringat Nabi Ibrahim yang belajar dari alam semesta untuk
mengenal tuhannya; Allah SWT. Saya juga teringat Rabindranath Tagore
dengan Santi Niketan; mengajak anak didiknya belajar dari alam yang
terkembang. Ya, Allah sudah memberikan semesta ini untuk kita pelajari.
Sekolah bukan hanya ruangan dengan empat dinding, bangku-bangku, dan
seorang guru di muka kelas. Tapi juga beratapkan langit, berlantai bumi,
berpena lumpur dengan halaman buku dari lembaran daun yang jatuh dari
tangkainya.
Saya jadi teringat saat Bella dan Abi balita. Saya mengajari mereka
tentang ulat yang memakan daun lalu bermetamorphosa jadi kupu-kupu. Saya
membuat kebun binatang kecil di halaman belakang rumah; kelinci, musang,
monyet, burung merpati, dan kolam ikan. Saya mengajari mereka tidak
sekadar lewat buku saja yang tersebar di rak-rak perpustakaan Rumah
Dunia, tapi juga saya bawakan bendanya. Saya masih ingat, bagaimana Abi
dan Bella dengan takut-takut memberi makan pisang atau kacang kepada
Cheetah, monyet kecil. Masih terekam jelas, bagaimana bergembiranya
mereka saat mencoba menggenggam ikan belut – sedat, yang licin.
Pada Azka dan Odi pun begitu. Saya membeli ikan mas, koy, dan mujaer
kecil. Saya buat kolam dari plastik. Ikan saya sebar. Odi sudah berani
masuk ke kolam dan bermain bersama ikan. Tapi, pada akhirnya kolam
plastik itu pun jadi tempat bermain Bella dan Abi. Saya mesti sering
menguras kolam itu dan membeli ikan-ikan baru, karena banyak yang mati.
Kembali ke jalan baru. Di pagi yang lain. Tanpa aku duga, Abi minta
diantar ke sekolah, tapi tidak mau dengan mobil atau motor. Saya kaget.
Kenapa? “Abi pingin jalan kaki, lewat jalan baru.” Kakaknya sekolah
pagi, jam 07.00. Abi masuk jam 09.30 WIB. Saya mengiyakan. Saya tidak
ingin kehilangan kesempatan emas ini.
Saat itu saya masih bekerja di RCTI sebgai senior creative. Saya bisa berangkat siang ke
kantor. “Ayo, siapa takut!” kata saya. Bukankah nabi Muhammad sering
mengajak bermain cucu-cucunya; Hasan dan Husen? Kenapa terhadap anak
sendiri saya harus pelit memberikan waktu? Saya tidak ingin mempunyai anak
yang secara psikologis jauh dengan saya sebagai ayahnya. Saat mereka ngompol di pangkuan, itu saya rasakan seolah karunia
terindah dari Allah. Saya tidak akan memarahi mereka. Saya hanya perlu
mengganti pakaian saja.
Seperti pagi itu, saya mengikuti kemauan Abi, menemaninya ke sekolah
dengan berjalan kaki melewati jalan baru. Abi menyandang tas ransel
sekolahnya. Kami berjalan keluar dari rumah diiringi tatapan bahagia
Tias. Atau lebih tepatnya tatapan “iri”. Saya bisa merasakan isi hati
Tias bahwa sebetulnya dia ingin ikut bersama kami. Tapi di rumah ada Odi
dan Azka yang masih harus dirawat dan ditimang. Saat berpamitan kepada
kakek dan neneknya - rumah mereka di dekar areal Rumah Dunia, Abi tampak antusias sekali. “Mau lewat jalan baru!”
teriaknya berlari keluar dari areal Rumah Dunia. Kata Emak kepada saya, “Abi itu persis
kamu!”
Jarak dari rumah ke sekolah Abi kira-kira dua kilometer. Abi dengan
wajah berseri-seri berjalan satu meter di depanku. Di wajahnya tidak tercemin rasa lelah. Tas ranselnya yang kebesaran
melompat-lompat. Bau lumpur dan hijaunya persawahan membuat hati kami
terasa nyaman dan damai. Saya merasa bahagia. Saya tidak memercayai,
bahwa anak kecil di depan saya itu adalah darah daging saya. Oh, ini seolah sedang
melihat “saya kecil”. Kata Bapak dan Emak, saat kecil saya senang berualang. Dengan sepeda saya jelajahi kota Serang. Sekitar umur 10 tahun, saya sudah berani bersepeda
ke Banten Lama, 10 kilometer utara Serang, berbekal nasi. Saat itu kendaran bermotor hanya bisa dihitung dengan jari. Menginjak SMP
bersepeda ke Anyer, 40 km sebelah barat Serang. Di dalam hati saya
berkata, apakah Abi akan memiliki darah petualangan seperti saya? Saat
melihat Abi berjalan di tengah hamparan sawah, tas ransel yang
melompat-lompat, saya merasa seperti sedang bertualang sewaktu muda
dulu, jadi backpacker.
Setelah itu saya sering membawa Abi bertualang. Kota-kota di Jawa dan Bali sudah kami susuri. naik kreeta atatu bus. Bahkan nge-bolang dari Singapore - Malacca - Kuala Lumpur. Akhirnya kenangan masa kecil bersama Abi menyadarkan saya, bahwa sekarang saya sedang menuai apa yang saya tanam dulu. Saya dan istri harus megnikhlaskan Abi berada jauh dari kami. Anak kami juga punya mimpi-mimpi sendiri sekarang... (GG)
No comments:
Post a Comment