Sunday, April 26, 2015

Kopi, Teh, dan Puisi

Saya sejak dulu tidak fanatik pada kopi. Tapi jika sedang kemping suka minum kopi pahit plus gula Jawa. Setelah itu tidak lagi. Atau kalau sedang traveling ala backpacker, untuk adaptasi dengan lingkungan, wisata kuliner saya : minum kopi di warung-warung. Saat riset lapangan selama 50 hari di Sumatra, April hingga awal Juni 2013 - saya memulainya dari Sabang dan berakhir di Lampung, saya tenggelam dengan kopi dan menulis puisi di kamar hotel murah meriah. Terutama saat di Sabang, Banda Aceh, Takengon, Kutacane, Kabanjahe, Padangsidempuan, Mandailing Natal, Sawah Lunto, Curup bengkulu dan Pagar Alam. Selain mewawancarai orang, saya masuk ke gudang-gudang kopi mereka, menghirup kopi luwak, menyeruputnya dengan ranting kayu manis, dan ikut menjemur biji kopinya. Maka jadilah buku puisi "Air Mata Kopi" (Gramedia, Oktober 2014) yang masuk 10 besar "Hari Puisi Indonesia" 2014.





Sebetulnya saya lebih suka kuliner teh panas. Di Jawa, saya paling suka minum teh pahit di warung-warung pinggir jalan saat sarapan. Saya sudah merasakan teh-teh pahit di pinggiran jalan di hampir kota-kota di Indonesia. Apalagi teh tubruk. Bahkan di Darjeeling, India, saat hujan es tiba. Tapi teh pahit di pinggiran jalan kota-kota nusantara membuat saya berkeringat dan semangat. Apalagi jika saya sedang menikmati sebuah pagi di kota yang saya kunjungi, ritual minum teh pahit selalu saya jalani. Sendirian, menikmati pagi dan sarapan khas kota tersebut.

Jadi rupanya, setiap saya minum kopi dan teh pahit di perjalanan, itu adalah pengalaman puitik yang tidak terkira. Hanya saja setelah umur saya separo baya, jus buah jadi pilihan lain. (GG)

No comments:

Post a Comment