Sunday, June 28, 2015

Dua Jenis Seniman di Muka Bumi

Wahai Anak Muda di mana pun berada, yang sedang merintis jadi seniman. Tulisan ini saya tujukan kepada Anda, para (calon) seniman muda. Ini tidak lain, agar hati-hati dalam melangkah. Saya ingin berbagi pengalaman tentang jenis seniman. Jenis seniman pertama yang tekun berkarya dan tidak memedulikan apa-apa. Dia bahkan rela miskin. Untuk menyambung hidupnya, dia berjualan dan bekerja apa saja. Dia menolak dan menjaga jarak dengan pemerintah. Jenis ini sering berada di persimpangan. Dia sering tergoda ingin datang ke dinas-dinas di pemerintah, tapi pada akhirnya dia memilih tidak. Sering dia berharap dan menunggu, agar pemerintah bersikap fair dan terbuka. Misalnya, jika ada proyek yang berkaitan dengan kesenian, semua seniman diundang dan ditantang untuk mengajukan sebuah ide. "Ada tim khusus yang menilai proposal itu," katanya. "Ide yang baguslah yang dibrei kesempatan untuk diwujudkan jadi karya dengan support dana dari pemerintah."

Tapi yang terjadi, sering ada jenis seniman yang kebalikannya. Seniman jenis kedua ini sering rajin datang ke instansi-instansi, mengorek-ngorek proyek. Tidak bolehkah begitu? Oh, boleh saja. Asalkan transparans dan mau bersaing. Tentu berbeda pengertiannya antara bersaing mendapatkan proyek APBD dengan bersaing melalui karya.  Tapi ini yang terjadi, pihak pemerintah berkongsi dengan seniman yang rajin datang ke kantor mereka dengan berwajah tebal alias tidak punya rasa malu. Itu berarti tertutup. Siapa yang tahu ada proyek di instansi tersebut, maka dialah yang mendapatkannya. Sementara jenis seniman pertama, tentu harus rela tersingkir.

Saya sangat menghormati kepada seniman jenis pertama. Kemiskinan tidak menjadikannya luluh dengan menjadi penipu, misalnya. Minjam uang ke temannya, lalu berdalih nanti akan dibayar hingga menunggu lupa. Dan dia terus melakukannya kepada teman-teman yang lain. Saya sering menyarankan, lebih baik jualan beras, air galon, jadi pedagang asongan sambil menekuni dunia kepenulisan. Atau sekalian saja datangi instansi pemerintah, mengincar proyek-proyek APBD tapi dengan memperbaiki etikanya. Misalnya tidak menguasainya sendirian, tapi membentuk "Forum Seniman APBD", sehingga seniman lain ikut bergabung. Saya rasa dengan terbuka seperti ini, Boss senang, anak buah juga senang. Happy-lah semuanya dengan APBD. Ini solusi yang baik.

Apakah Anda jenis seniman seperti itu? Saya? Rasa-rasanya saya tidak pernah melakukan itu untuk kepentingan pribadi. Keluarga saya - alhamdulillah hingga hari ini - tidak saya beri makan dari cara-cara seperti itu. Itulah resiko yang saya pilih, dengan tidak jadi PNS. Sangat lucu jika kita menolak jadi PNS, tapi gaya hidup kita seolah PNS. Jika Anda berharap dari proyek pemerintah atau APBD, saya sarankan jadi pegawai negeri saja. Berkiprah yang baik di sana. Untuk bulanannya aman, karena ada gaji tetap. Anak-istri sudah bisa dicukupi. Kita bisa santai dan tenang berkarya, tanpa perlu menebar kebencian kepada seniman yang lain. Apalagi saling sikut. Tentu asik alias asoy geboy jika "saling sikut" soal kualitas karya saat diskusi, daripada saling-sikut berebut proyek. Lebih terhormat jadi PNS sekalian saja.  Banyak kok seniman yang jadi pegawai negeri dan tetap menjunjung tinggi moral, yang selalu disisipkan di setiap karyanya. 

Jika saya memilih jadi seniman tapi rajin nyikut seniman lain dengan mengambili proyek APBD tanpa transparansi, malu sama pak tani yang membungkuk mencangkul sawah.  Malu sama mang becak yang terus ngos-ngosan mengayuh becaknya. Saya tentu tidak ingin jadi seniman miskin, yang untuk makan saja harus mengemis-ngemis mendatangi instansi pemerintah. Anda tentu bisa membedakan antara orang yang berjualan pisang goreng di depan kantor instansi pemerintah untuk dirinya dengan orang yang datang meminta dana berjualan pisang goreng dari APBD untuk kepentingan dirinya semata. Bagi saya yang benar itu datang ke sebuah bank, mengajukan proposal pinjaman dana untuk jualan pisang goreng. Ini memang persoalan martabat. Dan ini juga untuk menjaga citra, bahwa tidak benar seniman itu madesu - masa depan suram. 

Lantas apakah saya seniman? Jika ukurannya karya, saya seniman. Karya saya sudah diterbikan di mana-mana dengan beragam kualitas. Tentu jenis karya yang menghasilkan uang lebih banyak, yang sering Anda sebut "populer" itu, yang sering saya buat. Padahal jenis karya saya yang sering Anda sebut "sastra" juga banyak. Saya lebih suka mengirimkan karya ke pasar bebas, dinilai oleh pra editor yang kompeten di bidangnya. Jika bagus, diterbitkan, dijual di toko buku. Jika best seller dapat royalti melimpah. Jika ketiban durian runtuh, disinetronkan dan difilemkan.

Atau Anak Muda, melamar jadi wartawan di koran daerah atau nasional, dan melamar di sebuah stasiun TV swasta. Untuk jadi kaya dan berpenghasilan menawan harus mau bersaing lewat karya, bukan dengan otot. Itu yang pernah saya lakukan, Anak Muda. Analoginya sederhana, tentu keuntungan dari jualan pisang goreng berbeda dengan jualan mobil.  Hidup itu kompetitif, Anak Muda! Harus diperjuangkan.  Jangan terbuai dengan anggapan, bahwa jika jadi seniman itu harus dimulai dari penampilan rambut gondrong, celana jeans lusuh, penampilan acak-acakan, jarang mandi apalagi gosok gigi. Itu seniman miskin. 

Seniman itu pada akhirnya kembali ke karakternya masing-masing, bukan pada karya semata yang dituliskannya. Itu adalah hasil dari tempaan di lingkungannya. Percayalah, tidak semua seniman memiliki moral tinggi seperti yang biasa ia dengung-dengungkan di setiap karyanya. Ia juga bisa jadi seorang penjilat, penipu, atau juga penjahat. Sama halnya dengan kiyai, ulama, anggota dewan, bupati, menteri, guru, dosen, apa pun.

Tapi, percayalah juga, banyak seniman yang bermoral tinggi seperti karya-karya yang dibuatnya. Semoga itu Anda. (Gol A Gong)

No comments:

Post a Comment