Di perayaan hari kelahiran saya hari Sabtu 15-08-2015 ini, saya ingin menulis tentang relawan Rumah Dunia. Tidak terasa, umur saya sudah 52 tahun. Saya lahgir 15-08-1963. Saya mulai dengan foto ini. Ingat, saya unggah foto ini di blog saya bukan bermaksud menjodohkan mereka. Saya hanya ingin memberi tahu, bahwa Jack Alawi dan Suni Ahwa
adalah nama kedua orang di foto ini. Mereka adalah contoh nyata dari apa yang pernah Allah firmankan di surat
Al-Alaq. Dengan sangat jelas, bahwa Allah memerintahkan pertama kali
kepada kita "membaca" dan "menulis". Dua hal itulah yang mengubah hidup
mereka.
Suni Ahwa bergabung di
Rumah Dunia 12 tahun lampau - pada tahun 2002, saat masih di SD. Saya
masih mengingatnya saat itu - hampir kebanyakan anak-anak di Kampung
Ciloang, setiap sepulang sekolah mencari rongsokan dan sampah plastik,
mereka jual dan menambahi biaya sekolahnya. Bahkan adanya juga yang
mengamen di perempatan jalan.
Suni bercita-cita ingin jadi
dokter. Kemudian dia bergabung di Rumah Dunia; dengan tulus, tekad kuat,
pantang menyerah, mengikuti menu-menu yang dihidangkan secara cuma-cuma
di Rumah Dunia.
Dia merasakan kebahagiaan ketika mengenal warna lewat crayon, teater,
pembacaan puisi, kekuatan sihir kata-kata di puisi,cerpen, dan novel,
serta d"dipaksa" mengikuti diskusi para pelajar dan mahasiswa yang
pintar-pintar. Cita-citanya bergeser dan mulai realistis. Dia kini ingin
jadi guru. Pada Juli 2015, dia meraih gelar S1 Bahasa Inggris,
Universitas Banten Jaya.
"Setiap hari saya mnajar di beberapa
sekolah, Kang," kata Sauni - saya memanggilnya bgitu, ketika dia saya
ajak ke Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, mengisi seminar Hari Anak.
"Setiap bulan saya mendapatkan pemasukan sekitar Rp. 900 ribuan. Untuk
membantu adik saya yang baru masuk kuliah di IAIN. Tapi, saya ingin
merantau ke luar Jawa, jadi pengajar di pedalaman," katanya.
Dan Jack Alawi, dengan malu-malu bergabung di Kelas Menulis Rumah Dunia
pada 2011. Dia pekerja di perusahaan gas elpiji. Tugas utamanya
memasangi tutup pada tabung gas ukuran 7 kilo. Dia ingin hijrah dan
mengubah nasibnya. Dia ingin jadi pneulis. Mimpi itu dia rawat dan
sirami kini. Dia jadi relawan Rumah dunia dan tidur di sebuah rumah di
halaman belakang rumah kami, dimana ribuan buku bersemayam di sana.
setiap malam, di dalam tidurnya, kata-kata yang berdiam di tiap lembaran
hlaman buku bergerak dan masuk ke dalam kepalanya. Kini dia mahasiswa
KPI IAIN Serang dan essaynya mulai menghiasi korna lokal. Dia ingin
menekuni tulisan travel writing. Dia memang gemar traveling.
"Ini Kang, essay saya yang dimuat di koran Baraya Post," Jack
menyoodrkan foto copian esainya. "Tentang perpustakaan," tambahnya. Saya
membacanya. Saya mmberinya kritik di sana-sini. Saya bahagia, tentu.
Saya sanat mengenal proses kreatif menulisnya. Kali ini esai yang dia
tulis sudah cukup baik. Dia hanya prelu didorong untuk terus membaca
kehidupan, lebih sering berpergian.
Begitulah mereka, anak-anak
muda yang memiliki masa depan. Kita harus memberi kesempatan kepada
mereka untuk bergerak maju mewujudkan mimpinya. sepertihalnya saya di
usia muda, keluarga dan lingkungan mendorong saya untuk maju. Segala
kritikan dan cibiran saya jadikan pelecut untuk terus melangkah. Segala
makian saya jadikan cara instropeksi yang menyakitkan sekaligus
menjadikan saya kuat. Sahabat dan musuh saya jadikan api yang terus
berkobar. Hidup tak lagi bisa hanya mengandalkan perasaan. Uluran tangan
persahabatan saya raih dan peluk, tamparan permusuhan sya pasrahkan
kepada Allah SWT.
Segala yang saya lakukan sebenarnya mudah
dilacak di Rumah Dunia. Ya, sejak tahun 1996 saya sudah tidak
kemana-mana lagi, sudah bertekad mengabdikan seluruh jiwa-raga di
sepetak halaman belakang rumah kami di Kampung Ciloang, yang beserta
istri - Tias Tatanka, serta para sahabat; Toto St Radik, (alm) Rys Revolta, Andi S Trisnahadi, Maulana Wahid Fauzi, Adul Malik, Bagus Bageni, Mhaex Maranoes (kakak Ariel S Maranoes), Aas Arby Syahrostani, Dian Faradisa, Asep GP, dan Taufik Harian Banten Raya, membangun fondasi awal Rumah Dunia.
... kemudian membesar dan berjumlah banyak uluran persahabatan kepada
saya. Merekalah -para sahabat yang membantu mewujudkan mimpi-mimpi saya,
yaitu membangun peradaban baru di kampung kecil bernama Ciloang, Serang
- Banten. Tanpa mereka, hidup saya terasa hampa. Rumah Dunia - saya
pikir - adalah rumah bersama di mana proses hidup penuh mimpi menjadi
nyata, yang kemudian orang-orang pintar merumuskannya dalam satu kata
"afirmasi".
Saya, seperti halnya Jack dan Suni adalah sejatinya
relawan di Rumah Dunia, yang ingin terus bergerak maju, tapi tidak
ingin sendirian. Bergerak maju ke rumah masa depan di mana kita akan
berbaring dengan segala do'a dan sekaligus cacian. Tak ada yang sempurna
di dalam hidup ini.
Saya menyadari betul, di hari tua ini
setiap yang kita lakukan baik menurut kita belum tentu baik bagi orang
lain. Tapi yang paling membahagiakan, sebagai perumpamaan, di antara 100
sahabat, ada 1 orang yang kemudian tersakiti, tentu saya memikirkan 99
orang sahabat yang menerima uluran tangan persahabatn dari saya. Dengan
99 orang sahabat itulah, saya terus mengisi kehidupan bersama mereka
sambil berdo'a, semoga 1 sahabat yang tersakiti itu kemudian bisa
menyesuaikan dirinya, bahwa kebersamaan lebih penting dari segalanya.
Memang, hal yang menurut kita menyenangkan, malah bisa menyakitkan bagi
orang lain. Tapi, kita harus berani memiliki ukuran untuk kita terapkan
di dalam hidup ini. Pada akhirnya saya menemukan kesimpulan, , bahwa
hidup adalah untuk masa depan. Sepanjang hidup yang kita abdikan kepada
yang namanya sang waktu, maka yakinilah.
Sekali kita melangkah
di jalan Allah SWT, jangan pernah melangkah mundur lagi. Setiap hri
jatah hidup kita berkurang. Sepetak tanah ukuran 2 x 2 meter sudah
mennati kita... (*)
*) 15/8/1963 - 15/8/2015
No comments:
Post a Comment