Ayah saya mengenalkan istilah piknik kepada saya sejak kecil. Walau pun ayah dan ibu seorang guru biasa, tapi mereka selalu mengajak kami anak-anaknya setiap sebulan sekali ke pantai. Atau piknik ke alun-alun kota sambil bawa tikar dan makanan. Apalagi kalau sedang ada layar tancep malam Minggu, kami sekeluarga piknik di alun-alun. Jadi piknik di dalam kota adalah piknik murah-meriah. Bapak juga mengajhak saya naik bus ke rumah saudara di Cianjur, Bandung, dan Purwakarta. Kemudian pulangnya disuruh sendirian. Ayah dan ibu selalu menyelipkan pesan, bahwa piknik adalah bagian dari cara menikmati keindahan dan keagungan alam ciptaan Allah. Juga untuk menanamkan cinta pada tanah air.
Saya pun tumbuh jadi anak yang rasa ingin tahunya besar. Apalagi setelah ada perpustakaan di rumah. Di SMA (1980-82), saya jadi senang piknik ketimbang sekolah dan kuliah. Setelah Banten puas saya jelajahi, mulailah saya keluar Banten. Jawa Barat (81), pulau Jawa (82), Indonesia (86-88) kemudian Asia (90-92). Saya menyebut diri saya sebagai traveler atau petualang. Istilah backpacker baru trendi tahun 2000-an.
Setelah sya jadi bapak, maka apa yang pernah saya peroleh dari ayah saya tentang makna piknik, saya tularkan kepada keempat anak saya. Alhamdulillah, anak-anak saya jadi pemberani dan tidak cengeng kalau saya sedang bepergian. Mereka juga senang bepergian. Saya paling senang bepergian bersama-sama. Bahkan anak kedua saya, sejak kelas 5 SD sudah berani meninggalkan rumah, sekolah di Abu Dhabi, UEA. Sekarang dia sudah di kelas 2 SMP, mahir berbahasa Arab-Inggris. Itulah manfaatnya mengenalkan piknik pada anak sejak dini. (*)
*) Saat saya menjelajahi pulau Seram selama sebulan, 1987. Saya bersama suku Nowaulu.
No comments:
Post a Comment