Sunday, August 16, 2015

Drum Band Gita Surosowan Banten

Saya senang mengkritik dan siap dikritik Tapi, saya juga harus memuji, jika ada yang patut dipuji. Itu keseimbangan. Saya paling senang berkompetisi, tapi tidak dalam urusan moral. Kompetisi yang paling asik dan fair bagi saya adalah olahraga. Di sana terkandung filosofi citius, altius, fortius. Lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Begitulah arti dari semboyan dunia olahraga yang dijadikan motto atau semboyan olimpiade.




Dan - walaupun berlengan satu, saya adalah (mantan) atlet badminton. Saya buktikan betul dengan berkompetisi di lapangan. Bukan hanya di kelas kampung, tapi dari level kabupaten, propinsi, nasional, hingga international. Akan sulit mengajak Anda berdiskusi soal ini, jika Anda sudah sinis terhadap olahraga. Kenapa? Itu karena Anda belum pernah merasakan jadi atlet dan bertanding di arena. Kecuali kalau Anda adalah orang yang terbuka dan memiliki hati yang bersih. Apalagi jika Anda tidak memiliki prestasi apa pun di dalam kehidupan ini, bahkan sekadar jadi juara lomba cerdas-cermat di kampung, maka hanya akan ada dua hal yang kamu lakukan. Pertama, mencaci orang yang berprestasi sebagi sesuatu yang biasa saja. Kedua, memberikan selamat dan sukses secara terbuka. Anda termasuk yang mana?


Saya pernah merasakannya. Di dunia olahraga prestasi diukur dari kemenangan. Semakin rajin menang dan meraih puncak kemenangan dengan menjadi yang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat, maka itulah prestasi. Sebagai atlet berlengan satu, prestasi saya tidak main-main. Saya sanggup mengalahkan pebulutangkis berlengan dua di kelas yunior di Banten. Saya juara ke-II di Kabupaten Serang (1980-82). Untuk Karesidenan Banten, saya banyak diperhitungkan pemain berlengan dua. Bahkan saya dikirim di Kejuaraan Yunior Jawa Barat (1981) mewakili Serang di Sukabumi. Saya berhasil mengalahkan jagoan dari Kuningan, walaupun kemudian kalah dari jagoan Bogor. Pertndingan saya melawan pebulutangkis Kuningan itu membuat geger Sukabumi dan dimuat di koran Pikiran Rakyat. Saya jadi "selebritis' waktu itu. Juga saat jadi mahasiswa di UNPAD (1982-85), saya mewakili kampus jika ada kejuaraan antar kampus.

Sedangkan di olimpiade cacat se Asia pasific, saya adalah jawaranya di cabang badminton. Pada 1988 di Solo, saya juara tunggal putra, double putra, dan beregu putra. Tiga medali emas saya sabet. Dan tiga kali saya mengerek bendera merah putih serta 3 kali pula menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada 1990 di Jepang, saya menyabet 2 emas dan sensasi yang saya rasakan luar biasa. Tunggal putra lepas, saya juara III. Dua kali saya meneteskan air mata di podium. Saya tidak percaya, sebagai orang kampung dari Banten, berhasil mengerek bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dua kali di negara Jepang, yang pernah menjajah kita.

Apa yang saya dapat? Pujian, iya. Cacian, juga iya. Saya sudah terbiasa menerima ini. Di dalam hati saya berkata, "Yang membedakan saya dengan orang-orang yang mencaci saya adalah, setiap hari saya berkarya, sementara mereka masih saja mencaci dan diam di tempat."

Sering saya mendengar, jika saya berhasil mengalahkan atlet badminton berlengan dua, ada yang mencibir, saya menang karena lawannya kasihan kepada saya yang buntung. Pikiran positif saya, barangkali iya begitu. Di Jayapura, saya mengalami. Ayah dari lawan main saya menolak menginjinkan anaknya bertanding dengan saya, karena kalau anaknya menang dianggapnya biasa saja karena saya berlengan satu. Sedangkan kalau kalah, itu akan merusak mentalnya. Saya setuju dengan pendapat si ayah. Tapi itu tidak membuat saya berhenti main badminton, bukan?

Begitu juga ketika karya saya dimuat di sebuah majalah atau novel saya diterbitkan, tetap ada mencibir. Kata mereka : itu pasti karena redakturnya kasihan kepada saya. Atau, "Ah, novel jelek seperti itu, saya juga bisa!" Lagi-lagi, itu tidak membuat saya berhenti berkarya. Kini karya saya sudah ratusan buku sementara yang mencai saya, ya.., hingga sekarang masih trus mencaci saya. Bahkan dalam urusan cinta pun begitu. Cewek itu menerima cinta saya, katanya karena iba. Tapi, sekarang anak saya sudah empat, hehehee...

Kenapa saya bisa kuat? Itu karena sejak kecil saya ditempa oleh Bapak menjadi seorang atlet, maka saya kuat menerima segala cobaan itu. Di dalam olahraga, tidak hanya sekadar menang dan kalah. Justru kekalahan membuat kita kuat. Dengan menerima kekalahan dari lawan kita, di situlah kita belajar menghargai kehidupan. Saya bisa seterbuka ini dalam berdialog, karena seorang atlet. Saya bisa bicara apa adanya, karena terbiasa berkompetisi di arena terbuka, ditonton banyak orang, tidak ada yang perlu saya sembunyikan. Kita semua bisa melihat secara langsung, bagaimana seorang atlet mengeluarkan segala kemampuannya di arena agar bisa juara. Dan kita bisa melihat, bagaimana seorang atlet bersorak merayakan kemenangan dan menangisi kekalahannya. Itu semuaanya kejujuran. Jadi, jika Anda ingin belajar tentang sportivitas, datanglah kepada seorang atlet yang mmiliki banyak prestasi.

Sekarang sebagai warga Banten, apa yang bisa kita banggakan? Tradisi pelet dan teluhnya? Korupsinya? Dinastinya? Ketika duta kesenian di Tong-tong Fair menuai kritik, apa lagi yang bisa kita banggakan? Sebagai pribadi dan komunitas, saya beserta teman-teman mencoba menghapus stigma negatif Banten dengan memberikan prestasi-prestasi di dunia literasi. Apa yang kami dapat? Pujian? Ada yang memuji. Terima kasih. Heheheh, cacian yang kami dapat ada juga. Itu kami jadikan motivasi dan introspeksi. Jadi, jika kita mengkritik, tetap harus proporsional. Ada ukuran yang kita kenakan. Begitu juga ketika kita dikritik, kita bisa menerapkan ukuran; apakah kritikan itu membangun atau hanya diliputi kedengkian. Saat mengkritik, kita harus sadar diri, siapakah diri kita sesungguhnya.

Ketika saya mendengar Gita Surosowan mendapatkan cacian dan pujian sepulang dari Amerika, saya memakluminya. Orang-orng mengkritik Gita Surosowan, terkait dengan biaya pemberangkatan sebesar Rp. 6 Milyar, juga harus dimaklumi. Uang sebanyak itu memang akan bermanfaat jika disumbangkan kepada orang-orang miskin. Tapi, kita hidup harus adil; kita bukan hanya untuk mengurusi orang miskin. Hidup harus terus berlangsung. Kita juga harus memerhatikan daya hidup dari anak-anak muda di Banten, yang ingin maju. Kita harus mendorong anak-anak muda yang ingin berkembang. Prestasi dan korupsi, tentu ini 2 hal berbeda. Misalnya, Taufik Hidayat memiliki prestasi hebat di badminton, tapi organisasinya korup, maka Taufik tidak perlu kita salahkan. Organisasinya yang harus kita bereskan. Kita beri ucapan selamat kepada anak-anak muda di Gita Surosowan, tapi juga tetap mengkritik organisasinya, jika ada indikasi korupsi di sana. Saya rasa begitu lebih baik.

Selamat adik-adikku di Gita Surosowan. Saya dengar, adik-adik diminta tampil di istana, ikut merayakan Hari Proklamasi RI? Wah, itu prestasi. Tentu "diminta" dan "meminta" maknanya berbeda. Nah, saran saya, tidak perlu cengeng dikritik orang. Tetap tegar. Jadikan itu pelecut untuk sukses. Hidup adik-adik masih panjang. Gita Surosowan baru langkah awal untuk menapaki kesuksesan berikutnya di dalam kehidupan. Mulailah melengkapinya dengan membaca buku, agar jadi atlet yang memiliki wawasan luas. Saya merasakan itu. Saya bisa sekuat ini setiap menerima kritikan (bahkan kritikan yang tidak proporsional), karena saya atlet yang senang membaca.
Mari, kita rajin berolahraga dan membaca buku.(*)

Salam sayang
Gol A Gong
- Penulis adalah (mantan) atlet yang senang membaca
-Foto 1 saat menerima anughrah seni kebudayaan dari M. Nuh, Mendikbud, 2014.
-Foto 2 saat saya juara pertama badminton PON Cacat (1985). Saya atlet PON Cacat Jawa Barat. Catatan: Nah, 2 foto yang saya upload ini, juga bisa ditafsir 2 hal. Pertama memotivasi, kedua sombong. Anda termasuk yang mana? Heheheh, biarlah hanya Allah SWT yang tahu.

No comments:

Post a Comment