Saya senang mengkritik dan siap dikritik Tapi, saya juga harus
memuji, jika ada yang patut dipuji. Itu keseimbangan. Saya paling senang
berkompetisi, tapi tidak dalam urusan moral. Kompetisi yang paling asik
dan fair bagi saya adalah olahraga. Di sana terkandung filosofi citius,
altius, fortius. Lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Begitulah arti
dari semboyan dunia olahraga yang dijadikan motto atau semboyan
olimpiade.
Dan - walaupun berlengan satu, saya adalah (mantan)
atlet badminton. Saya buktikan betul dengan berkompetisi di lapangan.
Bukan hanya di kelas kampung, tapi dari level kabupaten, propinsi,
nasional, hingga international. Akan sulit mengajak Anda berdiskusi soal
ini, jika Anda sudah sinis terhadap olahraga. Kenapa? Itu karena Anda
belum pernah merasakan jadi atlet dan bertanding di arena. Kecuali kalau
Anda adalah orang yang terbuka dan memiliki hati yang bersih. Apalagi
jika Anda tidak memiliki prestasi apa pun di dalam kehidupan ini, bahkan
sekadar jadi juara lomba cerdas-cermat di kampung, maka hanya akan ada
dua hal yang kamu lakukan. Pertama, mencaci orang yang berprestasi
sebagi sesuatu yang biasa saja. Kedua, memberikan selamat dan sukses
secara terbuka. Anda termasuk yang mana?
Saya pernah
merasakannya. Di dunia olahraga prestasi diukur dari kemenangan. Semakin
rajin menang dan meraih puncak kemenangan dengan menjadi yang lebih
cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat, maka itulah prestasi. Sebagai atlet
berlengan satu, prestasi saya tidak main-main. Saya sanggup mengalahkan
pebulutangkis berlengan dua di kelas yunior di Banten. Saya juara ke-II
di Kabupaten Serang (1980-82). Untuk Karesidenan Banten, saya banyak
diperhitungkan pemain berlengan dua. Bahkan saya dikirim di Kejuaraan
Yunior Jawa Barat (1981) mewakili Serang di Sukabumi. Saya berhasil
mengalahkan jagoan dari Kuningan, walaupun kemudian kalah dari jagoan
Bogor. Pertndingan saya melawan pebulutangkis Kuningan itu membuat geger
Sukabumi dan dimuat di koran Pikiran Rakyat. Saya jadi "selebritis'
waktu itu. Juga saat jadi mahasiswa di UNPAD (1982-85), saya mewakili
kampus jika ada kejuaraan antar kampus.
Sedangkan di olimpiade
cacat se Asia pasific, saya adalah jawaranya di cabang badminton. Pada
1988 di Solo, saya juara tunggal putra, double putra, dan beregu putra.
Tiga medali emas saya sabet. Dan tiga kali saya mengerek bendera merah
putih serta 3 kali pula menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pada 1990 di
Jepang, saya menyabet 2 emas dan sensasi yang saya rasakan luar biasa.
Tunggal putra lepas, saya juara III. Dua kali saya meneteskan air mata
di podium. Saya tidak percaya, sebagai orang kampung dari Banten,
berhasil mengerek bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia Raya dua kali di negara Jepang, yang pernah menjajah kita.
Apa yang saya dapat? Pujian, iya. Cacian, juga iya. Saya sudah terbiasa
menerima ini. Di dalam hati saya berkata, "Yang membedakan saya dengan
orang-orang yang mencaci saya adalah, setiap hari saya berkarya,
sementara mereka masih saja mencaci dan diam di tempat."
Sering
saya mendengar, jika saya berhasil mengalahkan atlet badminton berlengan
dua, ada yang mencibir, saya menang karena lawannya kasihan kepada saya
yang buntung. Pikiran positif saya, barangkali iya begitu. Di Jayapura,
saya mengalami. Ayah dari lawan main saya menolak menginjinkan anaknya
bertanding dengan saya, karena kalau anaknya menang dianggapnya biasa
saja karena saya berlengan satu. Sedangkan kalau kalah, itu akan merusak
mentalnya. Saya setuju dengan pendapat si ayah. Tapi itu tidak membuat
saya berhenti main badminton, bukan?
Begitu juga ketika karya
saya dimuat di sebuah majalah atau novel saya diterbitkan, tetap ada
mencibir. Kata mereka : itu pasti karena redakturnya kasihan kepada
saya. Atau, "Ah, novel jelek seperti itu, saya juga bisa!" Lagi-lagi,
itu tidak membuat saya berhenti berkarya. Kini karya saya sudah ratusan
buku sementara yang mencai saya, ya.., hingga sekarang masih trus
mencaci saya. Bahkan dalam urusan cinta pun begitu. Cewek itu menerima
cinta saya, katanya karena iba. Tapi, sekarang anak saya sudah empat,
hehehee...
Kenapa saya bisa kuat? Itu karena sejak kecil saya
ditempa oleh Bapak menjadi seorang atlet, maka saya kuat menerima segala
cobaan itu. Di dalam olahraga, tidak hanya sekadar menang dan kalah.
Justru kekalahan membuat kita kuat. Dengan menerima kekalahan dari lawan
kita, di situlah kita belajar menghargai kehidupan. Saya bisa seterbuka
ini dalam berdialog, karena seorang atlet. Saya bisa bicara apa adanya,
karena terbiasa berkompetisi di arena terbuka, ditonton banyak orang,
tidak ada yang perlu saya sembunyikan. Kita semua bisa melihat secara
langsung, bagaimana seorang atlet mengeluarkan segala kemampuannya di
arena agar bisa juara. Dan kita bisa melihat, bagaimana seorang atlet
bersorak merayakan kemenangan dan menangisi kekalahannya. Itu semuaanya
kejujuran. Jadi, jika Anda ingin belajar tentang sportivitas, datanglah
kepada seorang atlet yang mmiliki banyak prestasi.
Sekarang
sebagai warga Banten, apa yang bisa kita banggakan? Tradisi pelet dan
teluhnya? Korupsinya? Dinastinya? Ketika duta kesenian di Tong-tong Fair
menuai kritik, apa lagi yang bisa kita banggakan? Sebagai pribadi dan
komunitas, saya beserta teman-teman mencoba menghapus stigma negatif
Banten dengan memberikan prestasi-prestasi di dunia literasi. Apa yang
kami dapat? Pujian? Ada yang memuji. Terima kasih. Heheheh, cacian yang
kami dapat ada juga. Itu kami jadikan motivasi dan introspeksi. Jadi,
jika kita mengkritik, tetap harus proporsional. Ada ukuran yang kita
kenakan. Begitu juga ketika kita dikritik, kita bisa menerapkan ukuran;
apakah kritikan itu membangun atau hanya diliputi kedengkian. Saat
mengkritik, kita harus sadar diri, siapakah diri kita sesungguhnya.
Ketika saya mendengar Gita Surosowan mendapatkan cacian dan pujian
sepulang dari Amerika, saya memakluminya. Orang-orng mengkritik Gita
Surosowan, terkait dengan biaya pemberangkatan sebesar Rp. 6 Milyar,
juga harus dimaklumi. Uang sebanyak itu memang akan bermanfaat jika
disumbangkan kepada orang-orang miskin. Tapi, kita hidup harus adil;
kita bukan hanya untuk mengurusi orang miskin. Hidup harus terus
berlangsung. Kita juga harus memerhatikan daya hidup dari anak-anak muda
di Banten, yang ingin maju. Kita harus mendorong anak-anak muda yang
ingin berkembang. Prestasi dan korupsi, tentu ini 2 hal berbeda.
Misalnya, Taufik Hidayat memiliki prestasi hebat di badminton, tapi
organisasinya korup, maka Taufik tidak perlu kita salahkan.
Organisasinya yang harus kita bereskan. Kita beri ucapan selamat kepada
anak-anak muda di Gita Surosowan, tapi juga tetap mengkritik
organisasinya, jika ada indikasi korupsi di sana. Saya rasa begitu lebih
baik.
Selamat adik-adikku di Gita Surosowan. Saya dengar,
adik-adik diminta tampil di istana, ikut merayakan Hari Proklamasi RI?
Wah, itu prestasi. Tentu "diminta" dan "meminta" maknanya berbeda. Nah,
saran saya, tidak perlu cengeng dikritik orang. Tetap tegar. Jadikan itu
pelecut untuk sukses. Hidup adik-adik masih panjang. Gita Surosowan
baru langkah awal untuk menapaki kesuksesan berikutnya di dalam
kehidupan. Mulailah melengkapinya dengan membaca buku, agar jadi atlet
yang memiliki wawasan luas. Saya merasakan itu. Saya bisa sekuat ini
setiap menerima kritikan (bahkan kritikan yang tidak proporsional),
karena saya atlet yang senang membaca.
Mari, kita rajin berolahraga dan membaca buku.(*)
Salam sayang
Gol A Gong
- Penulis adalah (mantan) atlet yang senang membaca
-Foto 1 saat menerima anughrah seni kebudayaan dari M. Nuh, Mendikbud, 2014.
-Foto 2 saat saya juara pertama badminton PON Cacat (1985). Saya atlet PON Cacat Jawa Barat. Catatan: Nah, 2 foto yang saya upload ini, juga bisa ditafsir 2 hal.
Pertama memotivasi, kedua sombong. Anda termasuk yang mana? Heheheh,
biarlah hanya Allah SWT yang tahu.
No comments:
Post a Comment